Jumat, 20 Maret 2015

Dia



Gelap saat itu, Bogor menunjukkan jati dirinya sebagai kota hujan. Hujan yang selalu indah, hujan yang selalu menenangkan, dan hujan yang selalu menjatuhkan kenangan-kenangan lama, kenangan saat aku masih menggunakan almamater biru tua itu. Kenangan bersama kawan juga cinta. Cinta yang menurutku akulah pemenangnya, cinta yang membuat aku mengerti mengenai arti cinta dari seni bahasa yang lain. Cinta yang membuat aku jatuh namun membangkitkan, cinta yang membuat aku menangis namun membahagiakan. Cinta yang membawa keyakinan meskipun aku menunggu.
Aku bekerja sebagai penyuluh pertanian di Kabupaten Bogor. Dari desa ke desa aku banyak mengorbankan waktuku untuk berbagi dengan petani disana. Selepas lulus sebagai Sarjana ekonomi tidak membuatku serta merta merasakan bekerja diruangan ber AC dengan menggunakan pakaian yang rapi dan berdandan cantik. Inilah aku, aku yang mencintai matahari dan aku yang mencintai hujan. Bukan karena terpaksa aku menjadi penyuluh, namun inilah jiwa ku dan inilah impianku.
Namun, pagi ini aku tidak sedang di sawah ataupun kebun, hari ini adalah hari wisuda kawan satu jurusan ku semasa kuliah.
“Mit, bengong aja lu. Seneng  kek. Akhirnya si Boy  sama Ricky wisuda tuh” linda mengagetkan lamunanku
“iya, ini gue seneng kok. Tapi yang lain pada kemana nih?” Tanya ku pada linda
Saat itu memang hanya ada aku, Linda, Icha dan Bunga di sana, sementara waktu menunjukkan pukul 11.00 ini berarti proses wisuda akan segera berakhir. Dari tempat parkir yang berada dekat fakultas pertanian tampak dua mobil berhenti, ternyata itu kawan lama ku yang juga akan menghadiri wisuda Boy dan Ricky
“si dua aktivis itu gue ga nyangka mereka bakal lulus telat, haha” Hafiz yang keluar dari mobil langsung mengomentari Boy dan Ricky
“lo tau kan fiz, si Boy mengabdikan dirinya sebagai Presma, kalau Ricky penelitian dia ribet” Tomo menjawab pertanyaan Hafiz
            Seketika suasana menjadi riuh dan ramai, suasana yang aku rasakan tepat 1,5 tahun lalu bersama mereka. Kami pun bersama-sama menuju gedung tempat wisuda berlangsung. Gedung yang penuh kenangan, gedung penerima dan pelepas kami mahasiswa di kampus segitiga ini. Dan gedung saksi bisu kenangan cinta



“kamu mau keluar negeri?” tanyaku padanya, sembari tersenyum menunduk
“iyalah, aku mau lanjut ke luar negeri, doakan aku ya. Aku berangkat dua minggu dari hari ini.” Dia mengutarakannya dengan sangat jelas dan senyum bahagia “Makasih ya udah datang ke wisuda aku, padahal harusnya kamu sedang berjuang di Desa”
“tenang aja kok, Cuma sehari ini. Aku doakan kamu sukses disana dan ketika pulang, kamu tetap menjadi Alfaf  yang memiliki banyak topeng. Haha” aku mencoba untuk bergurau menutupi perasaan ini. Dan untuk tidak pernah membahas percakapan pada malam itu satu tahun yang lalu.
“tenang, mungkin topengku akan semakin banyak nanti Mit.” Jawabnya sambil tertawa
“ Mita sadar woy, bengong aja lu” lagi-lagi Linda mengagetkanku.
Aku bahkan tidak sadar bahwa Boy dan Ricky sudah ada dihadapanku. Aku kembali kedunia nyata ku, aku bergabung dengan suasana bahagia mereka. Dengan mereka kawanku saat menggunakan almamater biru tua.
Selepas merayakan wisuda Boy dan Ricky aku memutuskan untuk ke perpustakaan kampus, sedangkan semua kawanku memutuskan untuk pulang atau melanjutkan reuni di pusat kota. Aku ingin mengenang rasa sakit itu, mengenang mimpi-mimpi itu, dan mengingat masa indah itu.ruangan penuh buku dan beberapa komputer itu tidak ada yang berubah. Bahkan aku masih dengan mudah menemukan tempat favorit ku ketika aku berada disana. Perpustakaan ini lebih dari itu, kenangan bersama Dia jelas ada disini. Tertawa bersama melakukan kegilaan bersama, bahkan belajar namun yang berujung pada cerita dan cerita. Aku merasakan kehadiran dia, meskipun itu hanya keinginanku saja untuk mengenangnya. Masih kuat dipikiranku senyumannya, candanya, tingkah gilanya.
“Mit, jangan duduk depan aku. Duduk samping aku aja sini”. Katanya sambil tersenyum mengerikan
“gak ah takut, kalau kamu macem-macem gimana?” kataku sewot
“ini perpustakaan Mit.” Jawabnya sambil tertawa renyah. Akupun larut tertawa bersamanya. ”Mit, aku dikatain PHP sama temen-temennya, padahal udah lama aku ga ngehubungin dia. Sekalipun ngehubungin cuma minta maaf”.
“hah? Iya? Kok bisa? Tapi ya al kalau kamu tiba-tia datang ke dia pasti dia berharap lagi ke kamu. Ya sudah kalau kamu sukses datang ke rumah dia terus lamar deh” kataku asal
“enggak semudah itu Mit”. Jawabnya sambil memasang tampang serius. Aku tertawa, entah tertawa apa. Aku cemburu? Jelas tidak. Tapi sesak, ya aku merasakan sesak.
Tanpa sadar aku kembali mengingat masa lalu yang mungkin sudah dia lupakan, hal kecil yang menurutku penting namun menurutnya tidak. Mulai kapan aku menyanginya? Jangan tanya, akupun tak tahu jelas. Saat di perpustakaan ini aku baru mengenal dia kira-kira 3 bulan, aku mengenalnya dari kegiatan kampus yang melibatkan kami bersama dalam beberapa waktu. Dari mulai perhatiannya, candanya, semua hal kita lewati bersama. Tanpa status? Jelas kami memiliki status, “Teman”. Ya dia menganggapku teman dan aku menggap lebih.
Aku tersadar sampai kapan aku disini dengan bodoh mengenang semuanya? Bahkan setelah tiga tahun berlalu semua kenangan ditempat ini.
“lebih baik, aku pulang saja ke desa” aku bergumam. Seusai melakukan sholat dzuhur aku langsung kembali ke desa tempatku berkeja, membawa kembali kenangan pahit yang aku paksakan untuk menjadikannya manis
“Mita..” sapa seorang laki-laki yang aku kenal suara seraknya. Seseorang yang berusahan mengembalikan senyumku dan membuatku untuk tidak menunggu.

Hari-hari aku lewati di Desa ini dengan gelak canda petani, anak-anak kecil dan kenangan-kenangan indah. Tak ada lagi udara sejuk tanpa polusi, tak ada lagi pemandangan menyejukkan mata dari angkuhnya Gunung Salak di sebelah Barat desa dan Gunung Gede Pangrango disebelah Timurnya.  Tak terasa sudah 4 tahun aku bekerja disini, meskipun penghasilan yang aku dapatkan tidak seberapa tapi aku bahagia menjalankannya, dan sekarang aku harus berhenti bekerja karena harus melanjutkan studi ku S2 di Jepang. Aku mendapatkan beasiswa itu, beasiswa yang informasinya aku dapatkan dari seorang laki-laki yang menemaniku tiga tahun terakhir teman kampusku dulu. Laki-laki yang dengan sabar menemaniku, membuatku tersenyum bahkan selalu berusaha menjadi yang pertama saat aku jatuh. Laki-laki tampan, pintar dan berbaik hati untuk membantuku mengubur masa laluku yang terus dibayang-bayangi dia. Apakah selama ini Alfaf ada menghubungiku? Tidak, bahkan aku sudah tidak tahu keberadaanya. Email yang ratusan kali aku kirim tidak pernah dia balas.
“Mit, kamu mikirin apa?” tanya pria itu
“aku kangen desa aja, Win. Aku ga nyangka bakalan ninggalin desa itu dan aku harus terbang ke Jepang satu bulan lagi. Aku sangat berterimakasih sama kamu, karena kamu udah jadi teman yang sangat baik,teman yang selalu ada buat aku, udah jadi pendengar yang baik juga.” Kataku tulus pada Arwin
“Mita, semua ini aku lakuin karena aku sayang sama kamu. Aku tahu, kamu ga memiliki perasaan yang aku rasakan, bahkan tentang perasaan kamu,  aku ga pernah tahu siapa laki-laki yang kamu cinta. Tapi Mit, apa kamu ga bisa belajar untuk cinta sama aku?” katanya setengah memohon
Aku menangis, “Arwin, kamu terlampau baik bahkan kamu sempurna. Selama tiga tahun, kamu yang selalu ada untuk aku ..” Belum selesai aku berbicara, Arwin memotong “tiga tahun? Mit aku bahkan menyayangi kamu dari tingkat pertama kita kuliah 8 tahun lalu Mit”
“kamu terlalu mencintai aku, kamu harus belajar mencintai orang lain win” aku semakin terisak
“Mit, aku serius aku ingin melamar kamu sebelum kamu ke Jepang. Bagaimana?” tanya Arwin sambil menatapku dalam. Aku hanya bisa menangis, membalas tatapan matanya saja aku tidak berani. Aku menunduk. Arwin menggenggam tanganku.
“aku belum tahu Arwin, biarkan aku memikirkan semuanya. Aku harus kembali ke Bandung kereta ku sudah datang”
Aku pergi, aku pergi dengan tangisan. Aku telah menyakiti orang yang begitu baik padaku, orang begitu tulus mencintaiku. Tapi aku, aku tidak pernah bisa melupakan Alfaf. Aku masih sangat yakin bahwa dia akan datang, dia akan kembali. Tuhan, apa sebenarnya arti keyakinanku kepada Alfaf? Apakah aku harus tetap menunggunya atau aku melupakan dia?”
Aku tiba dirumahku di Bandung, setelah sekian lama aku di Bogor aku kembali kerumah kecil ku. Kini usiaku 25 tahun dan aku masih menunggunya. Menunggu kabar dari seseorang yang entah dimana berada, dan dengan sadar aku menunggun hanya berlandaskan pada keyakinan. Keyakinan yang akan membawa kebahagiaan atau penyesalan? Ternyata waktu belum mau menjawab. Namun aku dengan hatiku akan tetap mendedikasikan penantian ini untuk dia.
“Mit, kenapa melamun ?” ibu bertanya kepadaku yang diam menatap hujan
“Bu, ada yang mau melamar Mita. Arwin bu.”
“loh, bukannya Arwin yang selama ini dekat dengan Mita? Kenapa Mita sedih?” tanya ibu heran melihat ekspresi wajahku
“Bu, Mita masih menunggu Alfaf  Bu. Mita yakin Alfaf akan datang lagi untuk Mita. Tapi Arwin sudah sangat baik sama Mita.” Aku menangis dan langsung memeluk ibu
“Arwin tahu tentang Alfaf?”
“Tidak bu, bahkan teman-teman Mita tidak ada yang tahu bahwa Mita sangat mencintai Alfaf”
“Mita, selama ini alfaf tidak pernah menghubungi Mita. Bahkan Mita tidak tahu perasaan Alfaf kepada Mita seperti apa. Lupakan Alfaf nak, lepaskan dia. Kamu berhak mendapatkan laki-laki baik nak, Arwin. Ibu percaya dia bisa membahagiakan kamu. Kamu seorang wanita, mendapatkan laki-laki yang teramat mencintai kamu itu berhak kamu dapatkan, karena kelak dia yang akan menjagamu.” Ibu ikut menangis dan mencoba menenangkan aku.
Aku semakin terisak, dan bergumam “tidak sesederhana itu bu”.
Semakin hari aku belajar untuk membuka pintu hatiku untuk Arwin, aku mencoba untuk menyayanginya dan aku kira aku berhasil. Aku semakin sering berkomunikasi dengannya. Namun, saat dia menanyakan lamaran itu aku belum yakin untuk menjawab “ya” entah apa yang menggangguku. Tak terasa kedekatan arwin tidak hanya kepadaku, namun juga kepada kedua orang tuaku dan adikku. Mereka begitu menerima Arwin, jelas alfaf kalah tentang hal ini. Aku mencoba melupakan Alfaf dan kenangannya.
Arwin dengan sabar menungguku, dengan tulus mencintaiku. Entah cintnaya padaku mungkin lebih besar dari cintaku pada Alfaf. Sedang Alfaf, dimana dia? Aku tidak pernah tahu, dan aku tidak pernah menyerah untuk menunggunya.
Aku membuka Hp ku dan melihat Note disana, masih tersimpan sebuah pernyataan yang sempuran aku rahasiakan dari semua orang
Aku bingung Mit
Tapi aku beranikan utnuk mengetik pesan ini, oh iya novel dari Mita udah aku baca separuhnya ceritanya bagus. Jangan terlalu banyak minta maaf Mit. Wanita itu begitu mulia Mit, aneh dan menarik. Mita tahu ada wanita yang begitu mulia dimata islam? Ya wanita yang selama ini justru pernah aku buat menangis Mit, Mita pasti tahu, wanita yang selama ini sering aku ceritakan. Yah, dibangingkan dengan wanita-wanita yang Mita sebut barusan mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia Mit. Wanita yang begitu paling mulia yang ada dihidupku . aku terlampau mencintainya Mit, menghormatinya. Wanita yang tak pernah habis cintanya untukku, wanita yang berulang kali aku buat terluka, wanita yang berulang kali aku buat khawatir. Aku minta maaf Mit sering membuat kamu nangis dan sakit, tapi dibalik itu semua aku terlampau sakit memikirkan apa yang telah aku perbuat untuk wanitaku Mit. Hanya satu kesempatan yang aku punya Mit, aku telah berjanji padanya janji yang aku rasa satu-satunya yang aku miliki yang bisa aku persembahkan untuk dia, iya hanya sekedar janji tapi itu sangat aku pegang. Janji untuk tidak memikirkan wanita lain untuk sementara waktu entah sampai kapan, ini bukan menagada-ada Mit. Kalaupun sekarang ada wanita sempurna yang mendekatiku Mit itu tak cukup, dia masih kalah dengan janji yang pernah aku buat. Itu yang bisa aku bagikan pada Mita sekarang, entahlah aku begitu bingung saat ini. Tapi tenang saja Mit, aku tidak akan menggurutu dengan apa yang terjadi, aku juga tidak akan menjauh. Selalu ada tempat spesial untuk Mita. Aku tak ingin ada yang berbeda untuk saat ini.
Itu adalah kata-kata yang diungkapkan Alfaf pada malam itu, malam dimana aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan ini tepat ketika 5 bulan aku mengenalnya. Namun, kata-katanya membuatku merasa bahwa aku masih memiliki kesempatan, karena wanita itu adalah Ibu. Ya Alfaf sangat menyayangi ibunya, dia ingin memberikan terbaik untuk ibunya sebelum dia membahagiakan wanita lain. Aku yakin aku memiliki kesempatan itu, jika aku mau menunggu dengan keyakinan yang kuat.
Bandara Soekarno Hatta.
Aku duduk disalah satu kursi disana, diam dan diam. Aku bahagia bisa mendaptkan kesempatan untuk melanjutkann kuliah di sana. Namun aku bingung, aku belum meberikan jawaban itu kepada Arwin. Namun lihat Arwin masih sabar menungguku.
“Mita” suara yang aku kenal memanggilku. Suara yang sangat aku rindukan. Suara yang sudah membuat malamku hujan.
Tanpa membalikan tubuh, aku menjawab “Alfaf” air mataku mengalir
“Mita, kita satu naungan beasiswa dan tadi pagi aku lihat berkasmu bahwa kamu berangkat ke Tokyo hari ini. Aku mencari kamu semenjak aku di Indonesia, aku ke desa tempat kamu bekerja tapi menurut mereka kamu sudah pergi dan akan menikah dengan seorang laki-laki bernama Arwin. Benar?” tanya Alfaf
“Aku Arwnin faf, teman satu fakultasmu dulu. Aku tak menyangka bahwa yang membuat Mita selama ini menunggu adalah kamu” Arwin menggenggam tanganku. Aku melepaskan genggaman Arwin, dan menarik baju Alfaf menjauh dari Arwin dan keluargaku
“Kamu tahu, aku bahkan sampai detik ini menunggu kamu. Tidak peduli dengan laki-laki yang sering datang ke kehidupan aku. Aku selama ini masih yakin kamu kembali. Bahkan setelah 4 tahun kepergianmu. Kamu yang sempuran menghilang dan aku dengan bodohnya menunggu kamu. Kamu yang tidak pernah aku tahu perasaannya. Aku cinta sama kamu. Arwin ingin melamar aku, tapi aku belum memberi dia jawaban karena kamu Al.” aku terisak-isak menjelaskan semua. “aku terlampau mencintai kamu, pesan kamu malam itu masih aku simpan meskipun itu sudah 5 tahun yang lalu. Aku masih ingat, bahwa selalu ada tempat spesial untuk aku. Aku berharap aku masih memiliki kesempatan membahagiakanmu juga, dan sekarang aku harus ke Tokyo selama 2 tahun. Dan aku masih belum bisa mencintai laki-laki lain selain kamu.” Aku meluapkan emosi selama 4 tahun ini. Hingga aku terkulai lututku lemas
“Mita, terimakasih atas keyakinan kamu yang sempurna, terimakasih atas penantianmu yang sempurna. Kamu memang selalu ada di tempat spesial itu. kamu bahkan satu-satunya wanita yang mengetahui aku lebih dari wanita lain selain Ibu. Tapi usiaku baru 26 tahun dan aku belum bisa menunaikan janjiku kepada Ibu. Aku harus membahagiakan dia. Aku harus menunaikan janjiku, setelah itu aku akan membahagiakan wanita lain sepanjang hidupnya tapi tidak untuk saat ini. Mita terimakasih atas semuanya, terimakasih atas perasaan luar biasa itu. Aku harap kamu mengerti Mit. Dan aku yakin kamu mengerti.
Aku tertawa menahan sakit atas jawaban itu, “apa aku harus menunggu lagi?”
“Mita, aku tidak pernah menawarkan kamu untuk menungguku, yang aku tahu sekarang kamu memiliki waktu dua tahun hingga kamu menyelesaikan waktu studimu.” Dia tersenyum menatapku dalam
“aku tahu apa yang harus aku lakukan Al, aku sangat mencintai kamu.” Kataku tersenyum getir
“kamu wanita hebat Mita” Alfaf tersenyum dan sangat menenangkan. “Aku pergi Mita, salam untuk keluargamu. Aslalamualaikum” Alfaf tersenyum sekali lagi dan berlalu.
Aku terdiam, meratapi semua. Entah aku tak tahu apa yang harus aku lakukan setelah pertemuan singkat ini.
“Ibu, Ayah dan Adek Mita berangkat dulu doakan Mita ya bu.” Kataku sembari memeluk mereka berdua.
“iya nak, ibu dan bapak selalu mendoakanmu” kata ibu menangis, melepas anak sulungnya pergi ke Negara orang,
“Arwin ini kertas untukmu, maaf belum bisa memberi kepastian. Semoga jawaban di kertas ini bisa membahagiakan mu. Baca ini setelah aku naik pesawat.”
Aku berjalan semakin menjauh, mendekati peswat itu. menjauh dari Ibu, Ayah, Adek, Arwin dan menjauhi tatapan mata Alfaf  yang diam-diam memperhatikan aku. Aku berjalan hingga tiba di pesawat.
Aku menangis kembali di pesawat, “Maafkan aku Arwin”
Arwin, aku memutuskan untuk tetap menunggu Alfaf (lagi) aku yakin setelah aku pulang aku akan menemukan kebahagiaanku dan aku juga sangat berharap kamu akan menemukan kebahgiaanmu.
Mita J
Itu isi kertas yang aku berikan pada Arwin
Entah apakah ini keputusan yang tepat atau tidak, aku jelas masih memiliki keyakinan itu. keyakinan bersama Alfaf. Aku mencintainya, aku berhasil menyembunyikan dari semua temanku tapi jelas aku gagal untuk tidak mengutarakannya kepada Alfaf. Aku mencintaimu dengan keyakinan ini dan aku tahu keyakinan ini yang mempertemukan kita tadi.