Gelap
saat itu, Bogor menunjukkan jati dirinya sebagai kota hujan. Hujan yang selalu
indah, hujan yang selalu menenangkan, dan hujan yang selalu menjatuhkan
kenangan-kenangan lama, kenangan saat aku masih menggunakan almamater biru tua
itu. Kenangan bersama kawan juga cinta. Cinta
yang menurutku akulah pemenangnya, cinta yang membuat aku mengerti mengenai
arti cinta dari seni bahasa yang lain. Cinta yang membuat aku jatuh namun
membangkitkan, cinta yang membuat aku menangis namun membahagiakan. Cinta yang
membawa keyakinan meskipun aku menunggu.
Aku
bekerja sebagai penyuluh pertanian di Kabupaten Bogor. Dari desa ke desa aku
banyak mengorbankan waktuku untuk berbagi dengan petani disana. Selepas lulus
sebagai Sarjana ekonomi tidak membuatku serta merta merasakan bekerja diruangan
ber AC dengan menggunakan pakaian yang rapi dan berdandan cantik. Inilah aku,
aku yang mencintai matahari dan aku yang mencintai hujan. Bukan karena terpaksa
aku menjadi penyuluh, namun inilah jiwa ku dan inilah impianku.
Namun,
pagi ini aku tidak sedang di sawah ataupun kebun, hari ini adalah hari wisuda
kawan satu jurusan ku semasa kuliah.
“Mit,
bengong aja lu. Seneng kek. Akhirnya si
Boy sama Ricky wisuda tuh” linda
mengagetkan lamunanku
“iya,
ini gue seneng kok. Tapi yang lain pada kemana nih?” Tanya ku pada linda
Saat
itu memang hanya ada aku, Linda, Icha dan Bunga di sana, sementara waktu
menunjukkan pukul 11.00 ini berarti proses wisuda akan segera berakhir. Dari
tempat parkir yang berada dekat fakultas pertanian tampak dua mobil berhenti,
ternyata itu kawan lama ku yang juga akan menghadiri wisuda Boy dan Ricky
“si
dua aktivis itu gue ga nyangka mereka bakal lulus telat, haha” Hafiz yang
keluar dari mobil langsung mengomentari Boy dan Ricky
“lo
tau kan fiz, si Boy mengabdikan dirinya sebagai Presma, kalau Ricky penelitian
dia ribet” Tomo menjawab pertanyaan Hafiz
Seketika suasana menjadi riuh dan
ramai, suasana yang aku rasakan tepat 1,5 tahun lalu bersama mereka. Kami pun
bersama-sama menuju gedung tempat wisuda berlangsung. Gedung yang penuh
kenangan, gedung penerima dan pelepas kami mahasiswa di kampus segitiga ini.
Dan gedung saksi bisu kenangan cinta
“kamu mau keluar negeri?” tanyaku
padanya, sembari tersenyum menunduk
“iyalah, aku mau lanjut ke luar
negeri, doakan aku ya. Aku berangkat dua minggu dari hari ini.” Dia
mengutarakannya dengan sangat jelas dan senyum bahagia “Makasih ya udah datang
ke wisuda aku, padahal harusnya kamu sedang berjuang di Desa”
“tenang aja kok, Cuma sehari ini.
Aku doakan kamu sukses disana dan ketika pulang, kamu tetap menjadi Alfaf yang memiliki banyak topeng. Haha” aku
mencoba untuk bergurau menutupi perasaan ini. Dan untuk tidak pernah membahas
percakapan pada malam itu satu tahun yang lalu.
“tenang, mungkin topengku akan
semakin banyak nanti Mit.” Jawabnya sambil tertawa
“
Mita sadar woy, bengong aja lu” lagi-lagi Linda mengagetkanku.
Aku
bahkan tidak sadar bahwa Boy dan Ricky sudah ada dihadapanku. Aku kembali
kedunia nyata ku, aku bergabung dengan suasana bahagia mereka. Dengan mereka
kawanku saat menggunakan almamater biru tua.
Selepas
merayakan wisuda Boy dan Ricky aku memutuskan untuk ke perpustakaan kampus,
sedangkan semua kawanku memutuskan untuk pulang atau melanjutkan reuni di pusat
kota. Aku ingin mengenang rasa sakit itu, mengenang mimpi-mimpi itu, dan
mengingat masa indah itu.ruangan penuh buku dan beberapa komputer itu tidak ada
yang berubah. Bahkan aku masih dengan mudah menemukan tempat favorit ku ketika
aku berada disana. Perpustakaan ini lebih dari itu, kenangan bersama Dia jelas ada disini. Tertawa bersama
melakukan kegilaan bersama, bahkan belajar namun yang berujung pada cerita dan
cerita. Aku merasakan kehadiran dia, meskipun itu hanya keinginanku saja untuk
mengenangnya. Masih kuat dipikiranku senyumannya, candanya, tingkah gilanya.
“Mit, jangan duduk depan aku. Duduk
samping aku aja sini”. Katanya sambil tersenyum mengerikan
“gak ah takut, kalau kamu
macem-macem gimana?” kataku sewot
“ini perpustakaan Mit.” Jawabnya
sambil tertawa renyah. Akupun larut tertawa bersamanya. ”Mit, aku dikatain PHP
sama temen-temennya, padahal udah lama aku ga ngehubungin dia. Sekalipun
ngehubungin cuma minta maaf”.
“hah? Iya? Kok bisa? Tapi ya al
kalau kamu tiba-tia datang ke dia pasti dia berharap lagi ke kamu. Ya sudah
kalau kamu sukses datang ke rumah dia terus lamar deh” kataku asal
“enggak semudah itu Mit”. Jawabnya
sambil memasang tampang serius. Aku tertawa, entah tertawa apa. Aku cemburu?
Jelas tidak. Tapi sesak, ya aku merasakan sesak.
Tanpa
sadar aku kembali mengingat masa lalu yang mungkin sudah dia lupakan, hal kecil
yang menurutku penting namun menurutnya tidak. Mulai kapan aku menyanginya?
Jangan tanya, akupun tak tahu jelas. Saat di perpustakaan ini aku baru mengenal
dia kira-kira 3 bulan, aku mengenalnya dari kegiatan kampus yang melibatkan
kami bersama dalam beberapa waktu. Dari mulai perhatiannya, candanya, semua hal
kita lewati bersama. Tanpa status? Jelas kami memiliki status, “Teman”. Ya dia
menganggapku teman dan aku menggap lebih.
Aku
tersadar sampai kapan aku disini dengan bodoh mengenang semuanya? Bahkan
setelah tiga tahun berlalu semua kenangan ditempat ini.
“lebih
baik, aku pulang saja ke desa” aku bergumam. Seusai melakukan sholat dzuhur aku
langsung kembali ke desa tempatku berkeja, membawa kembali kenangan pahit yang
aku paksakan untuk menjadikannya manis
“Mita..”
sapa seorang laki-laki yang aku kenal suara seraknya. Seseorang yang berusahan
mengembalikan senyumku dan membuatku untuk tidak menunggu.
Hari-hari
aku lewati di Desa ini dengan gelak canda petani, anak-anak kecil dan
kenangan-kenangan indah. Tak ada lagi udara sejuk tanpa polusi, tak ada lagi
pemandangan menyejukkan mata dari angkuhnya Gunung Salak di sebelah Barat desa
dan Gunung Gede Pangrango disebelah Timurnya. Tak terasa sudah 4 tahun aku bekerja disini,
meskipun penghasilan yang aku dapatkan tidak seberapa tapi aku bahagia
menjalankannya, dan sekarang aku harus berhenti bekerja karena harus
melanjutkan studi ku S2 di Jepang. Aku mendapatkan beasiswa itu, beasiswa yang
informasinya aku dapatkan dari seorang laki-laki yang menemaniku tiga tahun
terakhir teman kampusku dulu. Laki-laki yang dengan sabar menemaniku, membuatku
tersenyum bahkan selalu berusaha menjadi yang pertama saat aku jatuh. Laki-laki
tampan, pintar dan berbaik hati untuk membantuku mengubur masa laluku yang
terus dibayang-bayangi dia. Apakah selama ini Alfaf ada menghubungiku? Tidak, bahkan
aku sudah tidak tahu keberadaanya. Email yang ratusan kali aku kirim tidak
pernah dia balas.
“Mit,
kamu mikirin apa?” tanya pria itu
“aku
kangen desa aja, Win. Aku ga nyangka bakalan ninggalin desa itu dan aku harus
terbang ke Jepang satu bulan lagi. Aku sangat berterimakasih sama kamu, karena
kamu udah jadi teman yang sangat baik,teman yang selalu ada buat aku, udah jadi
pendengar yang baik juga.” Kataku tulus pada Arwin
“Mita,
semua ini aku lakuin karena aku sayang sama kamu. Aku tahu, kamu ga memiliki
perasaan yang aku rasakan, bahkan tentang perasaan kamu, aku ga pernah tahu siapa laki-laki yang kamu
cinta. Tapi Mit, apa kamu ga bisa belajar untuk cinta sama aku?” katanya
setengah memohon
Aku
menangis, “Arwin, kamu terlampau baik bahkan kamu sempurna. Selama tiga tahun,
kamu yang selalu ada untuk aku ..” Belum selesai aku berbicara, Arwin memotong
“tiga tahun? Mit aku bahkan menyayangi kamu dari tingkat pertama kita kuliah 8
tahun lalu Mit”
“kamu
terlalu mencintai aku, kamu harus belajar mencintai orang lain win” aku semakin
terisak
“Mit,
aku serius aku ingin melamar kamu sebelum kamu ke Jepang. Bagaimana?” tanya
Arwin sambil menatapku dalam. Aku hanya bisa menangis, membalas tatapan matanya
saja aku tidak berani. Aku menunduk. Arwin menggenggam tanganku.
“aku
belum tahu Arwin, biarkan aku memikirkan semuanya. Aku harus kembali ke Bandung
kereta ku sudah datang”
Aku
pergi, aku pergi dengan tangisan. Aku telah menyakiti orang yang begitu baik
padaku, orang begitu tulus mencintaiku. Tapi aku, aku tidak pernah bisa
melupakan Alfaf. Aku masih sangat yakin bahwa dia akan datang, dia akan
kembali. Tuhan, apa sebenarnya arti keyakinanku kepada Alfaf? Apakah aku harus
tetap menunggunya atau aku melupakan dia?”
Aku
tiba dirumahku di Bandung, setelah sekian lama aku di Bogor aku kembali kerumah
kecil ku. Kini usiaku 25 tahun dan aku masih menunggunya. Menunggu kabar dari
seseorang yang entah dimana berada, dan dengan sadar aku menunggun hanya
berlandaskan pada keyakinan. Keyakinan yang akan membawa kebahagiaan atau
penyesalan? Ternyata waktu belum mau menjawab. Namun aku dengan hatiku akan
tetap mendedikasikan penantian ini untuk dia.
“Mit,
kenapa melamun ?” ibu bertanya kepadaku yang diam menatap hujan
“Bu,
ada yang mau melamar Mita. Arwin bu.”
“loh,
bukannya Arwin yang selama ini dekat dengan Mita? Kenapa Mita sedih?” tanya ibu
heran melihat ekspresi wajahku
“Bu,
Mita masih menunggu Alfaf Bu. Mita yakin
Alfaf akan datang lagi untuk Mita. Tapi Arwin sudah sangat baik sama Mita.” Aku
menangis dan langsung memeluk ibu
“Arwin
tahu tentang Alfaf?”
“Tidak
bu, bahkan teman-teman Mita tidak ada yang tahu bahwa Mita sangat mencintai
Alfaf”
“Mita,
selama ini alfaf tidak pernah menghubungi Mita. Bahkan Mita tidak tahu perasaan
Alfaf kepada Mita seperti apa. Lupakan Alfaf nak, lepaskan dia. Kamu berhak
mendapatkan laki-laki baik nak, Arwin. Ibu percaya dia bisa membahagiakan kamu.
Kamu seorang wanita, mendapatkan laki-laki yang teramat mencintai kamu itu
berhak kamu dapatkan, karena kelak dia yang akan menjagamu.” Ibu ikut menangis
dan mencoba menenangkan aku.
Aku
semakin terisak, dan bergumam “tidak sesederhana itu bu”.
Semakin
hari aku belajar untuk membuka pintu hatiku untuk Arwin, aku mencoba untuk
menyayanginya dan aku kira aku berhasil. Aku semakin sering berkomunikasi
dengannya. Namun, saat dia menanyakan lamaran itu aku belum yakin untuk
menjawab “ya” entah apa yang menggangguku. Tak terasa kedekatan arwin tidak
hanya kepadaku, namun juga kepada kedua orang tuaku dan adikku. Mereka begitu
menerima Arwin, jelas alfaf kalah tentang hal ini. Aku mencoba melupakan Alfaf
dan kenangannya.
Arwin
dengan sabar menungguku, dengan tulus mencintaiku. Entah cintnaya padaku
mungkin lebih besar dari cintaku pada Alfaf. Sedang Alfaf, dimana dia? Aku
tidak pernah tahu, dan aku tidak pernah menyerah untuk menunggunya.
Aku
membuka Hp ku dan melihat Note disana, masih tersimpan sebuah pernyataan yang
sempuran aku rahasiakan dari semua orang
Aku
bingung Mit
Tapi
aku beranikan utnuk mengetik pesan ini, oh iya novel dari Mita udah aku baca
separuhnya ceritanya bagus. Jangan terlalu banyak minta maaf Mit. Wanita itu
begitu mulia Mit, aneh dan menarik. Mita tahu ada wanita yang begitu mulia
dimata islam? Ya wanita yang selama ini justru pernah aku buat menangis Mit,
Mita pasti tahu, wanita yang selama ini sering aku ceritakan. Yah, dibangingkan
dengan wanita-wanita yang Mita sebut barusan mereka tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan dia Mit. Wanita yang begitu paling mulia yang ada dihidupku
. aku terlampau mencintainya Mit, menghormatinya. Wanita yang tak pernah habis cintanya
untukku, wanita yang berulang kali aku buat terluka, wanita yang berulang kali
aku buat khawatir. Aku minta maaf Mit sering membuat kamu nangis dan sakit,
tapi dibalik itu semua aku terlampau sakit memikirkan apa yang telah aku
perbuat untuk wanitaku Mit. Hanya satu kesempatan yang aku punya Mit, aku telah
berjanji padanya janji yang aku rasa satu-satunya yang aku miliki yang bisa aku
persembahkan untuk dia, iya hanya sekedar janji tapi itu sangat aku pegang.
Janji untuk tidak memikirkan wanita lain untuk sementara waktu entah sampai
kapan, ini bukan menagada-ada Mit. Kalaupun sekarang ada wanita sempurna yang mendekatiku
Mit itu tak cukup, dia masih kalah dengan janji yang pernah aku buat. Itu yang
bisa aku bagikan pada Mita sekarang, entahlah aku begitu bingung saat ini. Tapi
tenang saja Mit, aku tidak akan menggurutu dengan apa yang terjadi, aku juga
tidak akan menjauh. Selalu ada tempat spesial untuk Mita. Aku tak ingin ada
yang berbeda untuk saat ini.
Itu
adalah kata-kata yang diungkapkan Alfaf pada malam itu, malam dimana aku
memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan ini tepat ketika 5 bulan aku
mengenalnya. Namun, kata-katanya membuatku merasa bahwa aku masih memiliki
kesempatan, karena wanita itu adalah Ibu. Ya Alfaf sangat menyayangi ibunya,
dia ingin memberikan terbaik untuk ibunya sebelum dia membahagiakan wanita
lain. Aku yakin aku memiliki kesempatan itu, jika aku mau menunggu dengan
keyakinan yang kuat.
Bandara Soekarno Hatta.
Aku
duduk disalah satu kursi disana, diam dan diam. Aku bahagia bisa mendaptkan
kesempatan untuk melanjutkann kuliah di sana. Namun aku bingung, aku belum
meberikan jawaban itu kepada Arwin. Namun lihat Arwin masih sabar menungguku.
“Mita”
suara yang aku kenal memanggilku. Suara yang sangat aku rindukan. Suara yang
sudah membuat malamku hujan.
Tanpa
membalikan tubuh, aku menjawab “Alfaf” air mataku mengalir
“Mita,
kita satu naungan beasiswa dan tadi pagi aku lihat berkasmu bahwa kamu
berangkat ke Tokyo hari ini. Aku mencari kamu semenjak aku di Indonesia, aku ke
desa tempat kamu bekerja tapi menurut mereka kamu sudah pergi dan akan menikah
dengan seorang laki-laki bernama Arwin. Benar?” tanya Alfaf
“Aku
Arwnin faf, teman satu fakultasmu dulu. Aku tak menyangka bahwa yang membuat
Mita selama ini menunggu adalah kamu” Arwin menggenggam tanganku. Aku
melepaskan genggaman Arwin, dan menarik baju Alfaf menjauh dari Arwin dan
keluargaku
“Kamu
tahu, aku bahkan sampai detik ini menunggu kamu. Tidak peduli dengan laki-laki
yang sering datang ke kehidupan aku. Aku selama ini masih yakin kamu kembali.
Bahkan setelah 4 tahun kepergianmu. Kamu yang sempuran menghilang dan aku
dengan bodohnya menunggu kamu. Kamu yang tidak pernah aku tahu perasaannya. Aku
cinta sama kamu. Arwin ingin melamar aku, tapi aku belum memberi dia jawaban
karena kamu Al.” aku terisak-isak menjelaskan semua. “aku terlampau mencintai
kamu, pesan kamu malam itu masih aku simpan meskipun itu sudah 5 tahun yang
lalu. Aku masih ingat, bahwa selalu ada tempat spesial untuk aku. Aku berharap
aku masih memiliki kesempatan membahagiakanmu juga, dan sekarang aku harus ke
Tokyo selama 2 tahun. Dan aku masih belum bisa mencintai laki-laki lain selain
kamu.” Aku meluapkan emosi selama 4 tahun ini. Hingga aku terkulai lututku
lemas
“Mita,
terimakasih atas keyakinan kamu yang sempurna, terimakasih atas penantianmu
yang sempurna. Kamu memang selalu ada di tempat spesial itu. kamu bahkan
satu-satunya wanita yang mengetahui aku lebih dari wanita lain selain Ibu. Tapi
usiaku baru 26 tahun dan aku belum bisa menunaikan janjiku kepada Ibu. Aku
harus membahagiakan dia. Aku harus menunaikan janjiku, setelah itu aku akan
membahagiakan wanita lain sepanjang hidupnya tapi tidak untuk saat ini. Mita
terimakasih atas semuanya, terimakasih atas perasaan luar biasa itu. Aku harap
kamu mengerti Mit. Dan aku yakin kamu mengerti.
Aku
tertawa menahan sakit atas jawaban itu, “apa aku harus menunggu lagi?”
“Mita,
aku tidak pernah menawarkan kamu untuk menungguku, yang aku tahu sekarang kamu memiliki
waktu dua tahun hingga kamu menyelesaikan waktu studimu.” Dia tersenyum
menatapku dalam
“aku
tahu apa yang harus aku lakukan Al, aku sangat mencintai kamu.” Kataku
tersenyum getir
“kamu
wanita hebat Mita” Alfaf tersenyum dan sangat menenangkan. “Aku pergi Mita,
salam untuk keluargamu. Aslalamualaikum” Alfaf tersenyum sekali lagi dan
berlalu.
Aku
terdiam, meratapi semua. Entah aku tak tahu apa yang harus aku lakukan setelah
pertemuan singkat ini.
“Ibu,
Ayah dan Adek Mita berangkat dulu doakan Mita ya bu.” Kataku sembari memeluk
mereka berdua.
“iya
nak, ibu dan bapak selalu mendoakanmu” kata ibu menangis, melepas anak
sulungnya pergi ke Negara orang,
“Arwin
ini kertas untukmu, maaf belum bisa memberi kepastian. Semoga jawaban di kertas
ini bisa membahagiakan mu. Baca ini setelah aku naik pesawat.”
Aku
berjalan semakin menjauh, mendekati peswat itu. menjauh dari Ibu, Ayah, Adek,
Arwin dan menjauhi tatapan mata Alfaf yang diam-diam memperhatikan aku. Aku berjalan
hingga tiba di pesawat.
Aku
menangis kembali di pesawat, “Maafkan aku Arwin”
Arwin,
aku memutuskan untuk tetap menunggu Alfaf (lagi) aku yakin setelah aku pulang
aku akan menemukan kebahagiaanku dan aku juga sangat berharap kamu akan menemukan
kebahgiaanmu.
Mita
J
Itu
isi kertas yang aku berikan pada Arwin
Entah
apakah ini keputusan yang tepat atau tidak, aku jelas masih memiliki keyakinan
itu. keyakinan bersama Alfaf. Aku mencintainya, aku berhasil menyembunyikan
dari semua temanku tapi jelas aku gagal untuk tidak mengutarakannya kepada
Alfaf. Aku mencintaimu dengan keyakinan ini dan aku tahu keyakinan ini yang
mempertemukan kita tadi.